Sektor energi terbarukan di Indonesia terus menunjukkan dinamika menarik, didorong oleh peningkatan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan kebutuhan energi bersih. Upaya transisi energi telah menjadi prioritas, dengan berbagai pihak berkolaborasi untuk mencapai target bauran energi nasional dan mengurangi emisi.
Transformasi Energi dan Peran Utama EBT
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, mencapai 417,8 GW, namun pemanfaatannya masih sekitar 0,3%. Angka ini menyoroti peluang besar untuk pengembangan lebih lanjut, khususnya dalam mencapai target bauran energi primer sebesar 23% pada tahun 2025. Hingga kuartal III 2023, capaian bauran EBT baru sekitar 13,01%, yang mengindikasikan bahwa kerja keras masih dibutuhkan.
Sektor energi menjadi kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia, mencapai 60% dari total emisi. Oleh karena itu, percepatan transisi energi merupakan langkah krusial untuk memenuhi komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia. Pemerintah menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri, atau 43,2% dengan dukungan internasional, pada tahun 2030.
Pemerintah berkomitmen untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru setelah tahun 2025 dan akan mulai memensiunkan PLTU yang ada secara bertahap setelah tahun 2030. Komitmen ini selaras dengan target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Transisi energi ini diharapkan tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan menciptakan lapangan kerja.
Tantangan dan Strategi Implementasi
Transisi energi bersih di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari regulasi yang kompleks hingga kebutuhan investasi besar. Proyek strategis nasional, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dengan kapasitas 192 MWp, menunjukkan potensi besar, namun masih banyak proyek lain yang menunggu percepatan. Investasi di bidang EBT per November 2023 mencapai US$ 2,56 miliar, sementara targetnya US$ 3,82 miliar.
Upaya mengatasi tantangan ini memerlukan kerangka regulasi yang adaptif dan kebijakan fiskal yang mendukung. Regulasi baru seperti Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik diharapkan dapat menarik investasi dan mempercepat pengembangan EBT.
Peran lembaga keuangan multilateral seperti Asian Development Bank (ADB) juga sangat penting. ADB, melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform, mendukung Indonesia dalam memensiunkan PLTU batu bara dan mengembangkan EBT. Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Yudo D. P. Agung, menyatakan:
“Transisi energi adalah komitmen yang tidak dapat ditawar. Ini adalah upaya bersama untuk menyelamatkan bumi dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang.”
Melalui kerja sama multi-pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan internasional, Indonesia berupaya mencapai target bauran energi dan emisi. Transformasi ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang perubahan paradigma dan komitmen bersama menuju masa depan energi yang lebih hijau.
Rangkuman Progres dan Harapan
- Pemanfaatan potensi EBT Indonesia yang mencapai 417,8 GW masih sangat rendah, sekitar 0,3%, menunjukkan peluang besar untuk pengembangan.
- Capaian bauran EBT hingga kuartal III 2023 adalah 13,01%, masih jauh dari target 23% pada tahun 2025, menandakan perlunya akselerasi.
- Sektor energi berkontribusi 60% terhadap emisi gas rumah kaca di Indonesia, menjadikan transisi energi prioritas utama untuk mencapai target NDC 2030 dan NZE 2060.
- Pemerintah berkomitmen tidak membangun PLTU batu bara baru setelah 2025 dan secara bertahap memensiunkan yang sudah ada setelah 2030.
- Investasi EBT hingga November 2023 mencapai US$ 2,56 miliar, masih di bawah target US$ 3,82 miliar, menyoroti tantangan pendanaan.
- Regulasi seperti Perpres 112/2022 dan skema pendanaan seperti ETM dari ADB berperan krusial dalam mendukung percepatan transisi energi Indonesia.